Pages

Amangkurat I: Sang Raja Lalim dari Mataram

 .

Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang (keturunan Ki Juru Martani). Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.

Sejak masih menjadi putra mahkota Mataram, Raden Mas Sayidin terkenal memiliki perangai yang sangat buruk. Suatu waktu ia bahkan menculik isteri dari  Tumenggung Wiraguna karena tergiur kecantikannya. Tumenggung Wiraguna yang merupakan panglima perang Mataram merasa sangat terpukul oleh perilaku putra mahkota dan segera melaporkannya kepada Sultan Agung. Atas perbuatannya itu, Sultan Agung menghukum putra mahkota dan mengasingkannya untuk sementara waktu. Namun, hari demi hari perilaku putra mahkota tidak juga berubah, bahkan semakin menjadi-jadi. Oleh karenanya, banyak dari pejabat Mataram yang berpaling kepada Raden Mas Alit, adik dari putra mahkota, dan mengobarkan nafsu sang adik untuk menjadi raja. Diantara para pejabat yang mendukung Raden Mas Alit adalah Tumenggung Wiraguna dan gurunya sendiri, Tumenggung Danupaya. Di belakang mereka juga terdapat dukungan ribuan ulama.


Pada tahun 1645 Raden Mas Sayidin diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.

Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.

Segera saja setelah berkuasa, kelalimannya semakin menjadi-jadi. Ia mulai mencium rencana pemberontakan adiknya dengan dukungan orang-orang kuat istana. Ia tidak serta merta menghabisi adiknya. Pertama-tama ia mengirim para pendukung Raden Mas Alit ke medan pertempuran. Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya diberi tugas untuk merebut Blambangan (Banyuwangi) yang dikuasai Bali pada tahun 1647. Namun, di tengah jalan mereka dihabisi dengan racun. Setelah para pendukung penting pemberontakan adiknya itu diakhiri, maka tibalah saatnya bagi Amangkurat I untuk menghabisi Raden Mas Alit. Ia mengundang Raden Mas Alit ke Istana dan mulai menginterogasinya. Tidak lama kemudian ia membiarkan adiknya bertempur melawan sepasukan pengawal raja hingga tewas. Di kemudian hari, Amangkurat mengumpulkan ribuan ulama yang tercium sebagai pendukung Raden Mas Alit di alun-alun Mataram, kemudian membantai mereka.

Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.

Permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650 Cirebon ditugasi menaklukkan Banten tapi gagal. Kemudian tahun 1652 Amangkurat I melarang ekspor beras dan kayu ke negeri itu.

Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658, Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.


Perselisihan Dengan Putra Mahkota
Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).

Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663. Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi.

Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri beserta seluruh keluarganya, yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.


Pemberontakan Trunajaya

Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan. Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I.

Maka dimulailah pemberontakan Trunajaya pangeran Madura. Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC tahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.

Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para pemberontak semakin besar.  Kemenangan pihak pemberontak mengobarkan nafsu Trunajaya untuk menjadi raja dan mengabaikan persekutuannya dengan Adipati Anom. Dia mengeluarkan sebuah  pernyataan yang menghina trah  Mataram:

"Raja Mataram iku dakupamakake tebu: pucuke maneh yen legiya, senajan bongkote ing biyen ya adhem bae, sebab raja trahing wong tetanen; angur macula bae bari angone sapi!" 
 Raja Mataram itu saya umpamakan tebu, masa ujungnya manis, pangkalnya saja sejak dulu hanya terasa tawar, sebab raja keturunan petani; lebih baik mencangkul saja sambl menggembala sapi.


Sejak saat itu persekutuan Dipati Anom dengan Raden Trunajaya pecah, dan putra mahkota itu berbalik kembali membela ayahnya untuk menyelamatkan Kerajaan Mataram.


Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.

Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram.


Kematian Amangkurat I
Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar