Pages

Sisi Gelap Pemberontakan Westerling



Oleh: Suryadi
BARU-BARU ini sejarawan Universitas Leiden, Cees Fasseur menulis biografi Ratu Belanda Juliana dan suaminya Pangeran Bernhard. Buku itu berjudul Juliana & Bernhard; het verhaal van een huwelijk, de jaren 1936-1956 (Juliana & Bernhard; Cerita tentang Sebuah Perkawinan, 1936-1956) (Amsterdam: Balans, 2009). Sebelumnya Fasseur juga telah menulis biografi Ratu Wilhelmina, ibunda Ratu Juliana, yaitu Wilhelmina: krijgshaftig in een vormeloze jas (Wilhelmina: Si Pemberani Dalam Mantel tanpa Model) (Amsterdam: Balans, 2001).

Rupanya ada bagian dalam narasi biografi Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard itu yang mengganjal hati beberapa pihak di Belanda, yaitu menyangkut peran sekretaris sang Pangeran yang bernama I. Gerrie van Maasdijk (1906-2004). Gerrie adalah seorang wartawan liputan perang untuk surat kabar De Telegraaf yang kemudian menjadi sekretaris Pangeran Berhnard (1911-2004). Pada 1956 Gerrie dipecat sebagai sekretaris sang Pangeran karena perbedaan pendapat yang sangat tajam antara keduanya. Narasi yang agak miring tentang Gerrie dalam buku Fasseur telah mengundang kritik keluarganya. Hal itu telah mendorong pula Jort Kelder (seorang wartawan) dan Harry Veenendaal (seorang sejarawan) melakukan penelitian lanjutan untuk meluruskan sejarah -- meminjam istilah yang sedang tren di Indonesia -- tentang Gerrie van Maasdijk, sekaligus untuk menanggapi buku Fasseur. Akhir November lalu, Jort dan Harry meluncurkan bukunya yang berjudul ZKH: hoog spel aan het hof van Zijne Koninklijke Hoogheid. De geheime dagboeken van mr. dr. I.G. van Maasdijk (ZKH: Permainan Tingkat Tinggi di Istana Kerajaan yang Mulia. Rahasia Buku Harian Mr. Dr. I.G. van Maasdijk) (Amsterdam: Gopher BV, 2009), sebagai tanggapan atas buku Fasseur. Seperti dapat dikesan dari judulnya, bahan utama ZKH adalah buku harian Gerrie van Maasdijk. Jort dan Harry juga melakukan penelitian yang intensif terhadap surat-surat korespondensi antara Gerrie dan Pangeran Bernhard dan pihak-pihak lain, serta surat-surat korespondensi Pangeran Bernhard sendiri.

Kudeta Soekarno 

Buku ZKH langsung menjadi sorotan media dan menjadi topik diskusi di Belanda, karena berhasil mengungkapkan manuver politik keluarga Kerajaan Belanda di Indonesia di tahun 1950-an yang selama ini belum terungkap. Jort dan Harry menyimpulkan bahwa Pangeran Bernhard, salah seorang pendiri The Bildelberg Group (1954) yang berambisi agar bangsa kulit putih tetap memegang kendali di dunia ini, pernah merencanakan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada 1950, menyusul kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Rupanya sang Pangeran berambisi menjadi Raja Muda (viceroy) di Indonesia, seperti halnya Lord Mounbatten yang menjadi viceroy di India pada akhir 1940-an. Tujuannya tentu untuk melanggengkan kekuasaan penjajah Belanda di Indonesia. Hal itu terungkap dalam surat-surat korespondensi Pangeran Bernhard, antara lain dengan Jenderal USA Douglas MacArthur.

Buku Jort dan Harry cukup menjadi bahan pembicaraan masyarakat Belanda. Bahkan, pemerintah Belanda juga bereaksi terhadap temuan sejarah yang baru yang diungkapkan dalam buku itu. WesterlingBuku ZKH mengungkapkan kemungkinan hubungan erat tindakan kudeta gagal yang dilakukan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling di Bandung dengan ambisi politik Pangeran Bernhard itu. "Bernhard wilde coup in Indonesië (Bernhard menginginkan ada kudeta di Indonesia)," tulis harian Nederlands Dagblad edisi 30 November 2009. Kudeta yang dilakukan Westerling jelas ingin merongrong kekuasaan Presiden Soekarno yang baru seumur jagung. Di antara dokumen-dokumen yang terkait dengan Pasukan Elite Kepolisian Marsose (Maréchaussée) yang diteliti oleh Jort dan Harry juga ditemukan petunjuk bahwa staf Pangeran Bernhard pernah mengontak Kapten Westerling di Indonesia. Oleh karena itu, kuat dugaan bahwa kudeta yang dilakukan Westerling di Bandung (Januari 1950) yang mengerahkan Resiment Speciale Troepen (RST) dan melibatkan Sultan Hamid II adalah gerakan militer yang ada kaitannya dengan ambisi Pangeran Bernhard untuk menjadi raja muda di Indonesia. Kudeta itu sendiri gagal, walau 94 anggota pasukan TNI di Bandung sempat dibunuh dengan kejam oleh Westerling dan anak buahnya.

Konspirasi Pemerintah Belanda dengan berbagai cara untuk menyelamatkan Westerling dari tuntutan Pemerintah Indonesia sampai ia berhasil lolos ke Singapura pada Februari 1950 seolah memperkuat dugaan Jort dan Harry bahwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Westerling mungkin disetir Belanda. Sangat naif jika kudeta itu hanya dianggap sebagai tindakan kejam yang dilakukan oleh sekelompok tentara desersi. Meminjam judul buku Jort dan Harry, sangat mungkin ada "permainan tingkat tinggi" antara "istana kerajaan Yang Mulia" di Den Haag dan Westerling di Indonesia.

Kebenaran sejarah

Sampai sekarang masih banyak bagian dari sejarah kelam kolonial Belanda di Indonesia yang belum diungkapkan. Syukur bahwa di Belanda, dengan tradisi akademiknya yang bebas, penelitian ke arah itu terus berlangsung. Laporan dalam De Excessenota yang disusun secara terburu-buru dan disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda Piet de Jong pada Juni 1969 perlu disempurnakan. Dalam laporan itu dicatat sekitar 140 kejahatan yang dilakukan militer Belanda di Indonesia pasca-1945, tetapi dengan angka-angka statistik yang diperkecil. Fasseur pernah mengusulkan agar laporan itu ditulis ulang karena banyak mengandung manipulasi. Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court) berada di Den Haag, Belanda. Pengadilan itu akan terasa sedikit main-main jika negara Belanda sendiri tidak berusaha mengungkapkan kejahatan-kejahatan perang yang pernah mereka lakukan di Indonesia. (Suryadi, dosen dan peneliti pada Leiden Institute for Area Studies (LIAS), Universiteit Leiden, Belanda)***

Sumber: Pikiran Rakyat 11 Februari 2010

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar